Kamis, 26 Februari 2009

Topeng Kaleng: Negosiasi Seni dan Industri

Oleh NENENG YANTI KH. M.Hum.

Selalu ada situasi kompleks, terkadang paradoks, antara industri dengan kesenian. Industri selalu terkait dengan proses ekonomi, ”capital value”, mencari keuntungan sebanyak-banyaknya. Sementara kesenian mengandaikan dirinya lekat dengan nilai-nilai estetika sebagai bentuk ekspresi manusia, jauh dari nilai-nilai komersialisasi. Kalaupun ada hal-hal yang berbau komersial, itu biasanya diberikan terkait dengan pencapaian estetika yang tinggi.

A kan tetapi, dalam kesenian tradisi bentuk penghargaan demikian hampir tidak ada. Industri yang identik dengan “kota dan modern” dan kesenian tradisi dengan citra “kampung dan tradisional” seolah-olah menjadi dua hal yang kontradiktif. Dalam kondisi demikian, menjadi menarik manakala melihat sebuah seni pertunjukan tradisi eksis di perkampungan yang berada di tengah-tengah kawasan perindustrian besar.

Kesenian itu adalah topeng kaleng atau dikenal juga dengan sebutan topeng budong, merujuk pada nama pemimpinnya, Budong. Kelompok kesenian ini bermarkas di sebuah kampung yang terletak persis di tengah-tengah Kawasan Industri Cikarang Bekasi. Di kawasan ini terdapat sejumlah kawasan industri besar, yang dikenal dengan sebutan segitiga emas, Jababeka-Lippo-Egyp. Tak jauh dari ketiga kawasan industri itu, selesai dibangun sebuah kawasan megah yang kabarnya akan dijadikan pusat pemerintahan, yaitu Cikarang Baru.

Persoalan desa-kota, modern-tradisional yang biasanya terpisahkan tegas secara geografis kini menempati wilayah yang sama: kesenian tradisi yang bermukim di wilayah industri. Situasi kompleks dan paradoks seperti yang disinggung di atas menjadi persoalan yang menyeruak ke permukaan. Ketimpangan sosial-ekonomi juga kultural menjadi hal tak terhindarkan dalam perindustrian yang mengambil tempat di tengah permukiman penduduk yang umumnya masih sederhana. Akan tetapi, seperti disinggung Franzt Fanon, dari ruang seperti inilah justru akan selalu muncul proses negosiasi bahkan resistensi dari masyarakat yang terpinggirkan, termarjinalkan, yang dalam hal ini oleh industrialisasi. Proses negosiasi akan terus berlangsung, antara majikan dan buruh, pribumi yang tersingkir dengan pendatang yang terus melaju mengambil semua peluang. Antara industri dan seni.

Ketika saya bersama beberapa teman menjejakkan kaki di daerah Cikarang Selatan antara tahun 2002-2003 untuk menyelusuri keberadaan topeng kaleng dalam rangka sebuah penelitian, ternyata tidak mudah menemukan kelompok ini. Ada beberapa alasan. Pertama, penamaan “topeng kaleng” yang cenderung asing, bahkan di kalangan seniman topeng Bekasi yang umumnya lebih mengenal topeng Bekasi yang bertradisi Betawi. Banyak di antara mereka yang tidak mengenal nama “topeng kaleng”. Dalam daftar resmi Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bekasi ternyata nama yang tercantum adalah topeng budong untuk merujuk kelompok ini. Kedua, kecenderungan topeng ini yang berada di pinggiran, marjinal, sehingga komunitasnya memang terbatas. Hal penting yang bisa menjelaskan kondisi tersebut adalah bahwa terdapat tradisi yang berbeda antara topeng kaleng dengan topeng Bekasi. Perbedaan itu dipengaruhi secara signifikan oleh kondisi sosio-kultural dan geografis masyarakat pemiliknya.

Topeng kaleng bermarkas di Kampung Tegalluhur Desa Cibatu Kecamatan Cikarang Selatan Kabupaten Bekasi. Secara geografis, Cikarang Selatan adalah perbatasan antara Bekasi dengan Karawang, serta tak jauh dari Indramayu dan Subang. Hal itulah yang mempertegas kedekatan bahasa dan kultur di wilayah ini yang lebih dekat dengan ketiga daerah tersebut, yaitu bahasa Sunda dengan kultur pakaleran. Hal ini pula yang menyebabkan sebagian masyarakat Cikarang Selatan berbahasa Sunda dalam keseharian mereka. Sementara topeng Bekasi sendiri memang berakar pada tradisi Betawi sehingga menyerupai topeng Betawi. Bahkan, beberapa pelaku topeng Bekasi yakin bahwa mereka adalah pelopor dan akar dari topeng betawi.

Secara historis, nama “topeng kaleng” merujuk pada asal-muasal bahan dibuatnya peralatan topeng yang berasal dari kaleng, yang mereka sebut kaleng dencis (kaleng sarden(cis)) untuk gong dan saron. Dulu, semua jenis topeng menggunakan bahan yang sama. Baru kemudian diganti atau dimodifikasi dengan besi atau perunggu. Kelompok kesenian yang dipimpin Budong ini tetap mempertahankan nama “topeng kaleng” meski sudah tidak menggunakan peralatan dari kaleng dengan alasan adanya peruntungan dalam nama itu. Sebaliknya, ketika nama “kaleng” dihilangkan, topeng menjadi kurang laku atau tidak mendapat banyak undangan manggung. Maka, mereka pun mengusung nama Topeng Kaleng Mekar Budaya hingga saat ini.

Adanya kedekatan bahasa dan kultur topeng kaleng dengan wilayah-wilayah berbahasa dan kultur Sunda seperti dikemukakan di atas mempertegas keberadaan persebaran penikmat topeng kaleng adalah masyarakat yang berada di wilayah-wilayah ini. Mereka memiliki penikmat setia di sekitar Cikarang Selatan, Rengasdengklok (Karawang), Haurgeulis (Indramayu), dan Subang. Dari amatan yang telah dilakukan terhadap pertunjukan topeng kaleng, diperoleh kesimpulan bahwa jenis topeng ini menyerupai topeng banjet yang ada di Karawang. Atau bisa juga disebut variannya karena adanya beberapa perbedaan yang khas. Meski dalam urutan atau pakem permainan topeng sama, tetapi topeng kaleng lebih cair. Misalnya, dengan tidak adanya adegan tarian lipet gandes yang penarinya menggunakan topeng dan bunga, dan menggantinya dengan tari gaplek, sebuah tarian yang menyerupai goyang Karawang. Tarian ini, menurut pengakuan pemainnya, tidak memerlukan metode khusus untuk mempelajarinya karena bisa dengan mudah diikuti siapa saja. Tarian ini konon berasal dari gerakan kaum wanita yang tengah menumbuk padi.

"Kejawaraan"
Ada banyak kesenian tradisi di tanah air yang melestarikan adegan-adegan jawara dalam pementasannya seperti reog, debus, dan kesenian topeng sendiri. Akan tetapi, ada hal yang agak berbeda dalam topeng kaleng ini. Kalau dalam kesenian topeng pada umumnya adegan kejawaraan merupakan adegan tertentu yang menjadi salah satu unsur dalam pertunjukan, dalam topeng kaleng hal itu dimunculkan secara khusus, dengan gerakan yang disebut igel. Permainan golok dan gerakan-gerakan silat lain dipertunjukkan secara dominan dan atraktif. Selain ditampil-kan secara khusus dalam bentuk seni pencak silat, aksi dan berbagai atribut kejawaraan juga selalu muncul dalam setiap cerita yang ditampilkan. Hal ini kemudian dimaknai sebagai simbol identitas mereka di luar kesenian. Adegan kejawaraan yang muncul di setiap pertunjukan dikaitkan dengan keberadaan dan profesi mereka di luar kesenian.

Amatan secara sosiologis menemukan relevansi yang menarik dengan kondisi tersebut. Hampir semua pemain topeng kaleng terlibat secara langsung dalam industri. Kebanyakan mereka adalah buruh-buruh pabrik (pemain perempuan) dan petugas keamanan (pemain laki-laki) di pabrik. Beberapa dari mereka memegang posisi penting sebagai koordinator keamanan. Pak Budong sendiri, pemimpin topeng kaleng, adalah pimpinan sebuah organisasi yang menamakan diri Ikapud (ikatan putra daerah), sebuah organisasi yang menaungi para pekerja di bidang keamanan di Bekasi, khususnya di kawasan industri tersebut. Bahkan, beberapa pemain senior terjun langsung dalam bisnis limbah dengan omzet puluhan juta. Beberapa dari mereka hidup sangat mapan untuk ukuran seniman topeng pada umumnya. Profesi petugas keamanan menjadi penting karena secara tidak langsung terkait dengan kelancaran proses produksi di pabrik. Mereka menjadi “juru kunci” bagi lancarnya proses industrialisasi.

Sebaliknya, kalangan industri lebih memandang kelompok ini secara negatif dengan melabeli “preman” yang identik dengan orang yang sering bikin onar dan kerjanya minta uang. Tetapi, kelompok ini justru menyebut julukan “preman” untuk orang lain, bukan diri mereka, untuk orang yang mencari uang dengan jalan pintas, seenaknya, tanpa usaha, sedangkan mereka mengaku bekerja dengan semestinya.

Proses negosiasi
Lepas dari adanya perbedaan sudut pandang dan kepentingan antara kalangan industri dengan kelompok ini dalam memandang status dan eksistensi mereka, hal menarik yang patut dicermati dari posisi dan kiprah mereka dalam kesenian dan industri sekaligus adalah adanya sebentuk proses negosiasi terus-menerus di hadapan industri yang kerap berlaku kejam dan memarjinalkan kesenian tradisi maupun masyarakat pemiliknya.

Di sini, kepentingan-kepentingan ekonomi berebut dengan kepentingan melestarikan kesenian dan menghibur masyarakat. Menurut pengakuan beberapa pemain senior, kesenian yang mereka geluti justru semacam pengikat secara kultural atau semacam simbol perekat dari berbagai konflik yang mereka hadapi secara sosial. Berkesenian adalah prioritas utama mereka, sedangkan kerja di pabrik nomor dua. Alasannya, kesenian yang mereka geluti menjadi semacam “jalan” atas kemapanan ekonomi yang mereka peroleh saat ini. Mereka telah berkesenian sejak “belum punya apa-apa” dan setelah mereka berhasil “masuk” ke dalam industri maka kesenian itu harus tetap mereka lakoni sebagai “simbol pemersatu” agar kacang tidak lupa pada kulitnya.

Lebih baik bolos kerja daripada bolos main topeng, begitu prinsip mereka. Padahal, pertunjukan topeng dilakukan malam hingga pagi hari sehingga dalam kondisi terkantuk-kantuk mereka bekerja di pabrik. Bila mereka meninggalkan kesenian maka akan berdampak buruk bagi kehidupan mereka, begitu keyakinan mereka.

Kemampuan bernegosiasi itu berjalan seiring dengan keberhasilan mereka memasuki industri dengan mengambil porsi pekerjaan yang dapat mereka lakukan. Terlepas dari bagaimana proses negosiasi itu dilakukan, mereka berhasil eksis di tengah-tengah industri.

Persaingan ketat dalam gelora kapitalisme membawa pelakunya berprinsip mirip hukum rimba. Yang kuat akan menang, yang lemah akan kalah. Demikianlah industri. Dan kesenian masih ada tempat di sana. Meski untuk itu sikap ambigu tak terhindarkan.***

Penulis, Staf pengajar STSI Bandung. Sumber PR.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar