Kamis, 26 Februari 2009

Perkawinan Adat Betawi

Cinta yang telah terjalin bukan karena keindahan yang tampak dimata, tetapi karena yang menyatukan hati dan jiwa
Dari sepasang insan yang ingin hidup bersama
Menuju gerbang pernikahan 'tuk memelihara kehormatan
Mengharap ridho dan berkah dari yang kuasa

Untaian kalimat indah di atas terdapat dalam salah satu dari selusin kartu undangan yang saya terima mulai dari hari pertama Lebaran (1 Syawal 1428 H) sampai dengan hari Minggu kemarin. Bulan Syawal bagi masyarakat Betawi memang dianggap sebagai bulan yang baik untuk menyelenggarakan pesta perkawinan. Saya jadi teringat sepenggal syair dari salah satu lagu H. Benyawin S. "Ee... hujan gerimis aje, ikan bawal diasinin. Ee...jangan menangis aje, bulan Syawal mau dikawinin".

Dalam upacara adat perkawinan Betawi ada banyak tahapan yang harus dilalui, dan tiap-tiap tahapan berkaitan erat satu sama lain. Tahapan-tahapan yang harus dilalui adalah: melamar, masa pertunangan, menentukan hari perkawinan, mengantar peralatan, menyerahkan uang sembah, seserahan, nikah, ngarak penganten, main nganten-ngantenan, main marah-marahan, menyerahkan uang penegor dan pesta penutup.

Saat ini upacara adat perkawinan Betawi jarang dilaksanakan secara lengkap, pada umumnya hanya beberapa tahapan saja yang dilaksanakan. Tahapan yang jarang dilaksakan pada saat ini adalah main nganten-ngantenan, main marah-marahan, dan menyerahkan uang penegor.

1. Melamar
Sebelum melamar calon isteri, seorang pemuda Betawi biasanya sudah melewati suatu proses yang dikenal dengan istilah stilah ngedelengin; yaitu upaya mencari atau menemukan kesamaan missi dan visi antara seorang lelaki dengan seorang perempuan dalam rangka membina rumah tangga. Selengkapnya baca disini...

Melamar atau ngelamar dalam istilah Betawi adalah tingkatan yang paling awal dari rangkaian upacara. Setalah seorang pemuda menetukan calon istrinya, pihak keluarga pemuda mendatangi keluarga si gadis. Ada pun yang dikirim sebagai utusan biasanya keluarga dekat sebanyak dua sampai tiga orang. Jarang sekali orang tua pemuda melamar sendiri.

Bawaan yang dibawa pada waktu melamar adalah pisang sebanyak dua tiga sisir, roti tawar empat buah, dan dua tiga macam buah. Semua bawaan ditempatkan di piring besar atau nampan. Bawaan biasanya tampak terbuka yang merupakan tanda melamar supaya orang dapat mengetahui bahwa saat itu ada upara melamar pengantin.

2. Masa pertunangan
Setelah lamaran diterima pihak si gadis, pertunangan menjadi tahap berikutnya. Tahapan ini ditandai dengan diadakannya acara mengantar kue-kue dan buah-buahan dari pihak pemuda ke rumah pihak sigadis.

Dalam masa pertunangan bukan berarti si gadis dan si penuda bebas bertemu. Di antara mereka masih terdapat batas-batas hubungan yang berdasarkan pada ajaran agama dan sopan santun. Mereka tidak boleh bepergian tanpa ada yang ikut menyertai dari pihak keluarga di gadis.

3. Menentukan hari perkawinan
Untuk menentukan hari perkawinan dicari hari dan bulan yang baik serta saat-saat dimana segenap keluarga ada dalam keadaan selamat, sehat wal afiat. Pihak laki-laki mengirim utusan ke rumah keluarga si gadis dengan membawa buah tangan berupa buah-buahan dan kue kue sekedarnya.

Dalam pembicaraan, selain menentukan hari pernikahan juga diutarakan apa yang diminta keluarga si gadis sebagai persyaratan. Seperti jumlah mas kawin, peralatan yang dibawa, dan jumlah uang belanja.

4. Mengantar Peralatan
Setelah hari perkawinan ditentukan, beberapa hari sebelumnya pihak pemuda mengantar peralatan yang telah ditentukan pada pembicaraan terdahulu. Peralatan biasanya berbentuk alat-alat rumah tangga secara lengkap, perhiasan emas, pakaian, mas kawin dan uang belanja.

Jika si gadis mempunyai kakak yang belum kawin, maka pihak pemuda wajib menyerahkan uang pelangkah sebagai tanda permintaan maaf karena si adik mendahuluinya. Uang pelangkah juga dimaksudkan agar si kakak enteng jodoh.

5. Menyerahkan Uang Sembah
Peralatan yang diperlukan termasuk mas kawin telah diserahkan kepada pihak si gadis. Kira-kira tiga hari sebelum hari perkawinan, si pemuda diantar oleh salah seorang keluarganya pergi ke rumah calon mertua. Tujuan kepergian si pemuda untuk menyerahkan uang kepada si gadis yang disebut uang sembah. Jumlah uang sembah tidak ditentukan tergantung pada kemampuan pemuda itu. Uang sembah itu dibawa dengan menggunakan sirih dare, yaitu berupa anyaman dari daun sirih yang berbentuk kerucut.
Ada pun maksud penyerahan uang sembah ini adalah sebagai pembuka hubungan antara si pemuda dengan gadisnya. Di samping itu, pada han perkawinannya nanti si gadis akan melakukan penyembahan kepada calon suaminya, sehingga hatinya perlu ditenteramkan dengan uang sembah tersebut.

6. Seserahan
Sehari sebelum upacara perkáwinan dilangsungkan, diadakan suatu acara yang disebut seserahan. Seserahan adalah suatu upacara mengantar bahan-bahan yang diperlukan untuk keperluan pesta pada keesokan harinya dari pihak si pemuda. Antaran tersebut berupa beras, ayam, kambing, daging, sayur-mayur, bumbu-bumbu dapur, dan sebagainya. Selain kambing dan ayam, semua barang antaran ditempatkan di dalam peti-peti kayu yang disebut shi. Kambing dituntun dan ayam ditempatkan dalam keranjang. Peti-peti tadi dipikul beramai-ramai dan diarak, sehingga orang mengetahui berapa jumlah shie untuk seserahan tersebut. Upacara seserahan merupakan kewajiban bagi pihak keluarga pengantin laki-laki untuk membantu keperluan pesta yang akan berlangsung di rumah calon isteri.

Sementara itu, calon pengantin wanita mulai dipingit di rumah dan dirias oleh tukang rias penganten, serta dihibur oleh orang-orang tua khususnya kaum ibu. Selain meighibur calon pengantin wanita, kaum ibu juga memberi berbagai nasihat sebagai bekal bagi kelangsungan hidup calon penganten tersebut.

7. Nikah
Pada han pernikahan, si pemuda diantar oleh beberapa orang keluarganya berangkat menjemput si gadis di rumahnya. Mereka bersama-sama akan ke penghulu melakukan akad nikah. Si gadis yang diantar oleh ayah ibunya, lalu keluar dan rumahnya. Selanjutnya, kedua pengantin dinaikkan ke dalam sebuah delman dengan masing-masing seorang pengiring. Delman tersebut ditutupi dengan kain pelekat hitam sehingga tidak kelihatan dan luar. Akan tetapi, dengan kain pelekat hitam itu orang-orang telah nengetahui bahwa ada pengantin yang akan pergi ke penghulu.

8. Ngarak Penganten
Pada hari pesta pernikahan, baik pengantin pria maupun pengantin wanita, mengenakan pakaian kebesaran pengantin dan dihias. Pengantin pria diãrak dari rumahnya menuju rumah pengantin wanita dengan diantar oleh keluarga, kaum kerabat, dan teman temannya. Arak-arakan didahului oleh barisan rebana yang diiringi nyanyian. Peserta arak-arakan berjalan kaki dengan tertib sampai di rumah pengantin wanita.

Setelah sampai di depan rumah, dilakukan pembacaan zikir sebagai pembuka pintu. Selanjutnya mempelai wanita melakukan sumkem kepada mempelai pria dan keduanya kemudian duduk di pelaminan.

Tamu-tamupun berdatangan....

Sri Ratu, Kolaborasi Topeng dan Dangdut


BEKASIHERITAGE—Seni musik dangdut modern sedang dijajaki untuk dipadukan dengan seni tradisional Topeng Bekasi. Dengan cara ini muncul kreasi dengan istilah baru, yakni Pengdut atau Topeng Dangdut. Untuk mewujudkannya, Engkus Prihatin, seorang pengusaha yang juga pendiri One Center, wadah informasi komunikasi dan mediasi alumni SMA Negeri 1 Bekasi mempertemukan personil dangdut Sri Ratu dengan Grup musik dan tari topeng asli Bekasi, Kacrit Putra, Sabtu, 30 Juni 2007.

Pertemuan kedua personil tersebut bukan sekadar dalam tatapmuka dan pembicaraan antarkeduanya, melainkan juga sampai ketahap aplikasi. Usai terlibat dalam acara “ngobrol budaya” Komunitas Budaya Pangkalan Bambu di One Center, personil Sri Ratu, yakni Puri dan Lita, menyanyikan sejumlah lagu dangdut yang diiringi musik topeng sejak pukul 17.00 sampai 17.50, diantaranya lagu "Kucing Garong".

Pertunjukan kolaborasi tersebut disaksikan ahli sejarah musik dari Universitas Padjadjaran Bandung Muhammad Mulyadi, Ketua Komunitas Budaya Pangkalan Bambu dan Bekasi Heritage Ali Anwar, budayawan dan redaktur budaya Koran Tempo Nurhidayat, budayawan Komaruddin Ibnu Mikam, pengurus Dewan Kesenian Bekasi Oman Abdurrahman, sejumlah mahasiswa dari Himpunan Mahasiswa Bekasi (Himasi), wartawan dan masyarakat sekitar.

Menurut Engkus, sebenarnya pengdut sudah kerap ditemukan di sejumlah pertunjukan dang dut maupun topeng di kampung-kampung, terutama di Kota dan Kabupaten Bekasi. “Namun belum ada yang memenejnya secara serius dan profesional,” kata Engkus. Karena memiliki kekhasan tersendiri yang bersendikan pada nilai-nilai tradisional yang unggul di Bekasi, maka dirinya berinisiatif memadukan kedua unsur yang berbeda tersebut menjadi sebuah kolaborasi seni yang indah dan menghibur.

“Mudah-mudahan, ditangan kami pengdut akan menjadi trade mark Sri Ratu,” ujar Engkus usai pertunjukan. Agar harapan itu tercapai, dia merencanakan melakukan latihan rutin di saung empang yang dibangun khusus sebagai tempat latihan mereka. “Kalau sudah pas, pada saatnya pengdut Sri Ratu akan dibuatkan video clip,” kata Engkus. “Mereka akan kami tampilkan mulai tingkat lokal, nasional, bila perlu sampai internasional,” Engkus menambahkan.

Kedua personil Sri Ratu, Puri dan Lita, menyambut baik dan amat berbahagia dengan langkah mulia Engkus Prihatin. “Meski baru bertemu, namun langkah Pak Engkus yang serius dan profesional membuat kami merasa benar-benar dibimbing dan dibina,” kata Puri. Mengenai perpaduan topeng dan dangdut menjadi pengdut, mereka menilainya sebagai kolaborasi baru yang mengasyikkan. “Sejak saat ini Sri Ratu kami tidak ragu lagi mengusung trade mark pengdut,” Lita menambahkan.

Hal senada diutarakan pimpinan grup topeng Kacrit Putra, Supri Kacrit. “Kolaborasi ini sekaligus mengangkat topeng Bekasi yang mulai ditinggalkan masyarakat,” kata Supri. Kacrit Putra salah satu topeng Bekasi yang bertahan puluhan tahun, beralamat di Desa Jatimulya, Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi.

Alat musik yang digunakannya terdiri dari gendang, goong, kecrek, rebab, kenong, dan kenceng. “Agar tidak ketinggalan jaman, kami memberi sentuhan alat musik modern organ,” ujar Supri.

Menurut Ali Anwar, sejak sebulan ini dirinya diminta Engkus untuk memberikan pandangan tentang warna khas Sri Ratu kedepan. “Saya dan Pak Engkus sepakat memberi sentuhan seni trasional khas Bekasi pada dangdur Sri Ratu, yaitu topeng Bekasi,” kata Ali. Alasannya, Sri Ratu yang berdomisili di Bekasi harus memiliki jati diri dan fans utama, yakni masyarakat yang berbudaya betawi.

“Kalau Bekasi berbudaya betawi, maka Sri Ratu akan diterima belasan juta penggemarnya di komunitas budaya betawi yang tersebar di Jabodetabek,” kata Ali. Target pengdut Sri Ratu akan tampil di tingkat nasional dan mancanegara. “Pengdut khas Sri Ratu akan kami ekspor,” ujar Ali. Untuk mengetahui Sri Ratu lebih jauh, bisa diakses melalui blog www.sriratu.multiply.com

Muhammad Mulyadi menilai pengdut merupakan perpaduan yang serasi sekaligus menunjukkan bahwa dangdut bisa dikombinasikan dengan seni apapun. “Setelah menyaksikan penampilan mereka, saya menilai pengdut cocok menjadi ciri khas Sri Ratu,” kata Mulyadi.

Mulyadi berharap, dalam penampilannya Sri Ratu tidak perlu mengumbar unsur erotis saat mendendangkannya. “Kalau audiens merasa takjub dengan lagu dan musiknya, mengapa harus dipaksakan dengan goyang erotis?,” ujar Mulyadi. Kalau kesopanan tersebut dijaga, dia yakin Sri Ratu bisa tampil di Istana Negara dan mancanegara.

Masyarakat Malaysia dan Brunei Darussalam, sebagai contoh, amat menggemari lagu-lagu dangdut Indonesia yang bahasanya memiliki kesamaan. Persoalannya, kebanyakan mereka tidak menyukai goyangan erotis, karena negeri jiran tidak menghendakinya. “Nah, kalau bisa membaca selera mereka, Sri Ratu akan mudah diekspor,” kata Mulyadi.

Bagi Komaruddin Ibnu Mikam, pengdut menunjukkan perpaduan harmonis antara dua seni yang berbeda. Dia berharap nilai tradisi yang baik tersebut dilanjutkan, sehingga menjadi seni yang indah dan mampu melakukan perubahan perilaku masyarakat menjadi lebih beraklak. “Pakaiannya bisa disesuaikan, sehingga tetap menutup aurat. Sedangkan lagunya mengandung unsur akhlak, “Seperti mengajak seorang suami untuk setia kepada istrinya,” ujar Komaruddin.

Oman Abdurrahman menyatakan Dewan Kesenian Bekasi amat mendukung dan memuji langkah kreatif yang dilakukan Engkus, Ali Anwar, Sri Ratu, dan topeng Kacrit Putra. “Kami siap membantu, baik dari sisi koreografi, modifikasi musik, sampai memperkenalkannya kepada masyarakat dan pemerintah daerah,” kata Oman.

Nurhidayat yakin pengdut akan menjadi salah satu alternatif hiburan dangdut di Indonesia. “Kalau dimenej dan dikemas dengan baik, dari Bekasi akan lahir dangdut campur topeng yang diterima publik secara lebih luas,” kata Nurhidayat. Dia juga siap membantu menampilkan Sri Ratu kepada komunitas budaya, media massa, dan memperkenalkannya kepada sejumlah stasiun televisi. “Supaya sukses, mereka harus layak dibantu banyak komponen,” kata Nurhidayat.

Topeng Kaleng: Negosiasi Seni dan Industri

Oleh NENENG YANTI KH. M.Hum.

Selalu ada situasi kompleks, terkadang paradoks, antara industri dengan kesenian. Industri selalu terkait dengan proses ekonomi, ”capital value”, mencari keuntungan sebanyak-banyaknya. Sementara kesenian mengandaikan dirinya lekat dengan nilai-nilai estetika sebagai bentuk ekspresi manusia, jauh dari nilai-nilai komersialisasi. Kalaupun ada hal-hal yang berbau komersial, itu biasanya diberikan terkait dengan pencapaian estetika yang tinggi.

A kan tetapi, dalam kesenian tradisi bentuk penghargaan demikian hampir tidak ada. Industri yang identik dengan “kota dan modern” dan kesenian tradisi dengan citra “kampung dan tradisional” seolah-olah menjadi dua hal yang kontradiktif. Dalam kondisi demikian, menjadi menarik manakala melihat sebuah seni pertunjukan tradisi eksis di perkampungan yang berada di tengah-tengah kawasan perindustrian besar.

Kesenian itu adalah topeng kaleng atau dikenal juga dengan sebutan topeng budong, merujuk pada nama pemimpinnya, Budong. Kelompok kesenian ini bermarkas di sebuah kampung yang terletak persis di tengah-tengah Kawasan Industri Cikarang Bekasi. Di kawasan ini terdapat sejumlah kawasan industri besar, yang dikenal dengan sebutan segitiga emas, Jababeka-Lippo-Egyp. Tak jauh dari ketiga kawasan industri itu, selesai dibangun sebuah kawasan megah yang kabarnya akan dijadikan pusat pemerintahan, yaitu Cikarang Baru.

Persoalan desa-kota, modern-tradisional yang biasanya terpisahkan tegas secara geografis kini menempati wilayah yang sama: kesenian tradisi yang bermukim di wilayah industri. Situasi kompleks dan paradoks seperti yang disinggung di atas menjadi persoalan yang menyeruak ke permukaan. Ketimpangan sosial-ekonomi juga kultural menjadi hal tak terhindarkan dalam perindustrian yang mengambil tempat di tengah permukiman penduduk yang umumnya masih sederhana. Akan tetapi, seperti disinggung Franzt Fanon, dari ruang seperti inilah justru akan selalu muncul proses negosiasi bahkan resistensi dari masyarakat yang terpinggirkan, termarjinalkan, yang dalam hal ini oleh industrialisasi. Proses negosiasi akan terus berlangsung, antara majikan dan buruh, pribumi yang tersingkir dengan pendatang yang terus melaju mengambil semua peluang. Antara industri dan seni.

Ketika saya bersama beberapa teman menjejakkan kaki di daerah Cikarang Selatan antara tahun 2002-2003 untuk menyelusuri keberadaan topeng kaleng dalam rangka sebuah penelitian, ternyata tidak mudah menemukan kelompok ini. Ada beberapa alasan. Pertama, penamaan “topeng kaleng” yang cenderung asing, bahkan di kalangan seniman topeng Bekasi yang umumnya lebih mengenal topeng Bekasi yang bertradisi Betawi. Banyak di antara mereka yang tidak mengenal nama “topeng kaleng”. Dalam daftar resmi Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bekasi ternyata nama yang tercantum adalah topeng budong untuk merujuk kelompok ini. Kedua, kecenderungan topeng ini yang berada di pinggiran, marjinal, sehingga komunitasnya memang terbatas. Hal penting yang bisa menjelaskan kondisi tersebut adalah bahwa terdapat tradisi yang berbeda antara topeng kaleng dengan topeng Bekasi. Perbedaan itu dipengaruhi secara signifikan oleh kondisi sosio-kultural dan geografis masyarakat pemiliknya.

Topeng kaleng bermarkas di Kampung Tegalluhur Desa Cibatu Kecamatan Cikarang Selatan Kabupaten Bekasi. Secara geografis, Cikarang Selatan adalah perbatasan antara Bekasi dengan Karawang, serta tak jauh dari Indramayu dan Subang. Hal itulah yang mempertegas kedekatan bahasa dan kultur di wilayah ini yang lebih dekat dengan ketiga daerah tersebut, yaitu bahasa Sunda dengan kultur pakaleran. Hal ini pula yang menyebabkan sebagian masyarakat Cikarang Selatan berbahasa Sunda dalam keseharian mereka. Sementara topeng Bekasi sendiri memang berakar pada tradisi Betawi sehingga menyerupai topeng Betawi. Bahkan, beberapa pelaku topeng Bekasi yakin bahwa mereka adalah pelopor dan akar dari topeng betawi.

Secara historis, nama “topeng kaleng” merujuk pada asal-muasal bahan dibuatnya peralatan topeng yang berasal dari kaleng, yang mereka sebut kaleng dencis (kaleng sarden(cis)) untuk gong dan saron. Dulu, semua jenis topeng menggunakan bahan yang sama. Baru kemudian diganti atau dimodifikasi dengan besi atau perunggu. Kelompok kesenian yang dipimpin Budong ini tetap mempertahankan nama “topeng kaleng” meski sudah tidak menggunakan peralatan dari kaleng dengan alasan adanya peruntungan dalam nama itu. Sebaliknya, ketika nama “kaleng” dihilangkan, topeng menjadi kurang laku atau tidak mendapat banyak undangan manggung. Maka, mereka pun mengusung nama Topeng Kaleng Mekar Budaya hingga saat ini.

Adanya kedekatan bahasa dan kultur topeng kaleng dengan wilayah-wilayah berbahasa dan kultur Sunda seperti dikemukakan di atas mempertegas keberadaan persebaran penikmat topeng kaleng adalah masyarakat yang berada di wilayah-wilayah ini. Mereka memiliki penikmat setia di sekitar Cikarang Selatan, Rengasdengklok (Karawang), Haurgeulis (Indramayu), dan Subang. Dari amatan yang telah dilakukan terhadap pertunjukan topeng kaleng, diperoleh kesimpulan bahwa jenis topeng ini menyerupai topeng banjet yang ada di Karawang. Atau bisa juga disebut variannya karena adanya beberapa perbedaan yang khas. Meski dalam urutan atau pakem permainan topeng sama, tetapi topeng kaleng lebih cair. Misalnya, dengan tidak adanya adegan tarian lipet gandes yang penarinya menggunakan topeng dan bunga, dan menggantinya dengan tari gaplek, sebuah tarian yang menyerupai goyang Karawang. Tarian ini, menurut pengakuan pemainnya, tidak memerlukan metode khusus untuk mempelajarinya karena bisa dengan mudah diikuti siapa saja. Tarian ini konon berasal dari gerakan kaum wanita yang tengah menumbuk padi.

"Kejawaraan"
Ada banyak kesenian tradisi di tanah air yang melestarikan adegan-adegan jawara dalam pementasannya seperti reog, debus, dan kesenian topeng sendiri. Akan tetapi, ada hal yang agak berbeda dalam topeng kaleng ini. Kalau dalam kesenian topeng pada umumnya adegan kejawaraan merupakan adegan tertentu yang menjadi salah satu unsur dalam pertunjukan, dalam topeng kaleng hal itu dimunculkan secara khusus, dengan gerakan yang disebut igel. Permainan golok dan gerakan-gerakan silat lain dipertunjukkan secara dominan dan atraktif. Selain ditampil-kan secara khusus dalam bentuk seni pencak silat, aksi dan berbagai atribut kejawaraan juga selalu muncul dalam setiap cerita yang ditampilkan. Hal ini kemudian dimaknai sebagai simbol identitas mereka di luar kesenian. Adegan kejawaraan yang muncul di setiap pertunjukan dikaitkan dengan keberadaan dan profesi mereka di luar kesenian.

Amatan secara sosiologis menemukan relevansi yang menarik dengan kondisi tersebut. Hampir semua pemain topeng kaleng terlibat secara langsung dalam industri. Kebanyakan mereka adalah buruh-buruh pabrik (pemain perempuan) dan petugas keamanan (pemain laki-laki) di pabrik. Beberapa dari mereka memegang posisi penting sebagai koordinator keamanan. Pak Budong sendiri, pemimpin topeng kaleng, adalah pimpinan sebuah organisasi yang menamakan diri Ikapud (ikatan putra daerah), sebuah organisasi yang menaungi para pekerja di bidang keamanan di Bekasi, khususnya di kawasan industri tersebut. Bahkan, beberapa pemain senior terjun langsung dalam bisnis limbah dengan omzet puluhan juta. Beberapa dari mereka hidup sangat mapan untuk ukuran seniman topeng pada umumnya. Profesi petugas keamanan menjadi penting karena secara tidak langsung terkait dengan kelancaran proses produksi di pabrik. Mereka menjadi “juru kunci” bagi lancarnya proses industrialisasi.

Sebaliknya, kalangan industri lebih memandang kelompok ini secara negatif dengan melabeli “preman” yang identik dengan orang yang sering bikin onar dan kerjanya minta uang. Tetapi, kelompok ini justru menyebut julukan “preman” untuk orang lain, bukan diri mereka, untuk orang yang mencari uang dengan jalan pintas, seenaknya, tanpa usaha, sedangkan mereka mengaku bekerja dengan semestinya.

Proses negosiasi
Lepas dari adanya perbedaan sudut pandang dan kepentingan antara kalangan industri dengan kelompok ini dalam memandang status dan eksistensi mereka, hal menarik yang patut dicermati dari posisi dan kiprah mereka dalam kesenian dan industri sekaligus adalah adanya sebentuk proses negosiasi terus-menerus di hadapan industri yang kerap berlaku kejam dan memarjinalkan kesenian tradisi maupun masyarakat pemiliknya.

Di sini, kepentingan-kepentingan ekonomi berebut dengan kepentingan melestarikan kesenian dan menghibur masyarakat. Menurut pengakuan beberapa pemain senior, kesenian yang mereka geluti justru semacam pengikat secara kultural atau semacam simbol perekat dari berbagai konflik yang mereka hadapi secara sosial. Berkesenian adalah prioritas utama mereka, sedangkan kerja di pabrik nomor dua. Alasannya, kesenian yang mereka geluti menjadi semacam “jalan” atas kemapanan ekonomi yang mereka peroleh saat ini. Mereka telah berkesenian sejak “belum punya apa-apa” dan setelah mereka berhasil “masuk” ke dalam industri maka kesenian itu harus tetap mereka lakoni sebagai “simbol pemersatu” agar kacang tidak lupa pada kulitnya.

Lebih baik bolos kerja daripada bolos main topeng, begitu prinsip mereka. Padahal, pertunjukan topeng dilakukan malam hingga pagi hari sehingga dalam kondisi terkantuk-kantuk mereka bekerja di pabrik. Bila mereka meninggalkan kesenian maka akan berdampak buruk bagi kehidupan mereka, begitu keyakinan mereka.

Kemampuan bernegosiasi itu berjalan seiring dengan keberhasilan mereka memasuki industri dengan mengambil porsi pekerjaan yang dapat mereka lakukan. Terlepas dari bagaimana proses negosiasi itu dilakukan, mereka berhasil eksis di tengah-tengah industri.

Persaingan ketat dalam gelora kapitalisme membawa pelakunya berprinsip mirip hukum rimba. Yang kuat akan menang, yang lemah akan kalah. Demikianlah industri. Dan kesenian masih ada tempat di sana. Meski untuk itu sikap ambigu tak terhindarkan.***

Penulis, Staf pengajar STSI Bandung. Sumber PR.

Topeng Bekasi: OH..Nasibmu


Sejumlah seniman yang tergabung dalam grup-grup kesenian tradisional Tari Topeng di Kecamatan Setu, Kabupaten Bekasi, kini mengeluhkan sepinya undangan tampil dalam acara perkawinan, khitanan, atau kaulan (nadar), yang biasa dilakukan warga Bekasi.

Kondisi ini terutama disebabkan berubahnya selera masyarakat yang lebih suka nanggap orkes musik atau organ tunggal yang menyajikan lagu-lagu dangdut.

Nemon (40), yang memimpin Grup Topeng Sumber Harta di Desa Cijengkol, Kecamatan Setu, menuturkan, saat ini grupnya lebih banyak menganggur.

"Kalau ada warga yang punya hajatan kawinan, mereka lebih suka nanggap orkes dangdut. Alasannya, lebih meriah dan sawerannya banyak karena warga yang datang juga banyak," katanya.

Persaingan antara grup Tari Topeng dan orkes dangdut mulai dirasakan sejak tahun 2000. Sebelumnya, sejak krisis tahun 1997-1998, permintaan tanggapan diakui mulai turun.

"Waktu itu masih ada lima kali sebulan. Tapi sekarang, sekali sebulan saja sudah syukur," kata Nemon.

Nemon mengaku tidak berkutik menghadapi persaingan keras dari grup-grup dangdut dan organ tunggal yang mewakili budaya pop merambah ke desa-desa.

Sekarang ini, untuk membayar pemain saja Nemon mengaku harus menjual kambingnya. Sepinya tanggapan membuat persaingan di antara grup-grup tari topeng semakin ketat. Sebab, di Kecamatan Setu saja ada sekitar 10 grup. Setiap grup terdiri dari sembilan orang atau lebih yang dibayar Rp 25.000- Rp 60.000 setiap kali tampil. Atau, biaya tanggapan berkisar antara Rp 1,5 juta-Rp 2,5 juta.

ARIM (60), yang memimpin grup Sari Mekar di Desa Burangkeng, dengan pahit menyatakan terpaksa beralih profesi karena tari topeng tak lagi mampu menjadi gantungan hidup. Seniman yang menggeluti tari topeng sejak 1970-an itu sudah memodifikasi tariannya dengan jaipongan, tetapi tetap saja kalah bersaing. Akhirnya, ia kini merintis usaha penyewaan perlengkapan hajatan seperti tenda, kursi dan peralatan makan.

"Saya juga menawarkan satu paket dengan Tari Topeng, tapi jarang lakunya. Sekarang, paling tampil dua kali sebulan," kata Arim sambil tertawa.

Tarian Topeng merupakan kesenian Bekasi yang biasanya dimainkan untuk memeriahkan acara perkawinan, khitanan, dan kaulan. Dalam gelarannya, tari topeng dilengkapi juga drama komedi atau lawak tentang kehidupan masyarakat kecil di Bekasi.

Tarian Topeng diiringi musik yang terdiri dari lima jenis alat musik yaitu kendang, rebab, gong, kenong tiga, dan kecrek. Namun, dewasa ini, iringan musik topeng bertambah dengan alat musik lain seperti salendro, saron, bende, dan terompet, sebagai akibat dari pengaruh budaya Betawi dan Sunda.

Pemerhati kesenian tradisional Bekasi, Anwar Marzuki, meminta pemerintah setempat membina seniman tradisional agar mereka tetap jadi aset daerah. Salah satunya dengan menyediakan lokasi untuk tampil secara bergantian. (Kompas Online)